Dari uraian di atas, dapat ditarik sebuah kesimpulan bahwa sejarah adalah “ilmu pengetahuan yang mempelajari segala peristiwa atau kejadian yang telah terjadi pada masa lampau dalam kehidupan manusia.” (I Wayan Badrika, 2004, 3).
Pengetahuan sejarah memiliki peranan penting dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Karena “bangsa yang besar adalah bangsa yang dapat memahami sejarah bangsanya sendiri.” (I Wayan Badrika, 2004). Bahkan seorang presiden pertama Republik Indonesia, Bung Karno, pernah mengungkapkan sebuah pesan kepada generasi muda sebagai penerus bangsanya, yaitu “JAS MERAH” (jangan sekali-kali melupakan sejarah). Oleh sebab itu tidak ada suatu bangsa yang tidak mengenal sejarahnya sendiri, walaupun tidak semuanya pengetahuan sejarah dapat dikuasai sesuai dengan teori.
Belajar sejarah juga sama pentingnya bagi diri individunya sendiri. Seorang guru sejarah pernah berkata, “Dengan sejarah kita mampu melihat masa depan.” Tentu muncul banyak pertanyaan di benak kita, bagaimana kita bisa melihat masa depan, jika kita terus menengok ke belakang. Sebenarnya rangkaian kata itu memiliki makna yang sangat dalam, dengan kita menengok kembali kepada sejarah, kita dapat menjadikannya sebagai patokan atau pedoman hidup di masa yang akan datang. Dengan kata lain, sejarah adalah kilas balik kehidupan kita, agar kita lebih hati-hati dalam mengambil langkah supaya tidak terperosok ke dalam lubang yang sama.
Sementara itu, tujuan diajarkannya sejarah di berbagai instansi pendidikan salah satunya adalah untuk menumbuhkan benih-benih nasionalisme pada diri setiap individu agar tercipta kesadaran dan semangat persatuan yang tertanam kuat di benak para bibit bangsa di kemudian hari. Namun bagaimana kita dapat menumbuhkan semangat nasionalisme, jika untuk mempelajari sejarahnya saja para siswa bermalas-malasan dan kurang menyimak pelajaran itu dengan seksama. Dalam benak mereka, sejarah adalah pelajaran yang membosankan karena hanya mengulas kejadian yang sudah lalu. Oleh karena itu dewasa ini banyak timbul bibit-bibit bangsa yang buta sejarah, sedangkan semangat nasionalisme baru akan muncul pada diri seseorang, jika seseorang itu merasakan adanya persamaan nasib dengan individu lain sehingga tercipta rasa senasib sepenanggungan diantara mereka.
Otto Bover mendefinisikan nasionalisme sebagai paham yang muncul disebabkan oleh adanya persamaan sikap dan tingkah laku dalam memper-juangkan nasib yang sama. Dari definisi tersebut, jelas bahwa sikap nasionalisme sangat erat hubungannya dengan sejarah, karena bagaimana seseorang dapat menumbuhkan rasa nasionalisme jika seseorang itu tidak terlebih dahulu mengetahui sejarah nasibnya hingga muncul semangat dalam benak mereka untuk mengubah nasib itu agar lebih baik bersama dengan orang-orang yang bernasib sama dengannya.
Kembali pada keadaan generasi sekarang yang seolah meremehkan sejarah, sulit menumbuhkan rasa nasionalisme diantara mereka. Karena jangan-kan mengenal bangsa secara keseluruhan, jika pengetahuan untuk sejarah lokalnya sendiri sangat minim bahkan nol besar. Padahal sejarah lokal adalah tombak munculnya sejarah nasional suatu bangsa. Sangat disayangkan, di negeri kita tercinta ini sejarah lokal tidak banyak dieksplor ke permukaan dan tidak dikorek mendalam sampai ke akar-akarnya hingga terkuak dan tak lagi menjadi misteri. Jika kita bandingkan peran sejarah lokal di Amerika, Amerika menjadikan sejarah lokal sebagai dasar membangun bangsa (bottom up) sedangkan di Indonesia sejarah nasional lebih diuraikan atau diperjelas oleh sejarah lokal (top of down).
Sejarah lokal memang banyak memberikan kontribusi terhadap kemajuan suatu bangsa. Peranannya pun tak bisa terbantahkan lagi, dengan sejarah lokal, sejarah pusat atau nasional lebih diperjelas dari segi data-data dan sumber-sumber, lebih terperinci, dan memperkaya nilai sesuatu yang belum ada atau dipaparkan dalam sejarah nasional. Dan dari sejarah lokal, juga muncul para pahlawan daerah yang mendobrak kebengisan para penjajah yang telah merampas hak bangsanya. Dari dulu negara kita memang menganut doktrin kemajuan suatu bangsa ada di benak pemuda. Bangsa Indonesia patutlah bersyukur karena negeri kita ini memiliki tokoh-tokoh pemuda yang berangkat dari daerah tapi bermental baja. Namun, sikap semangatnya yang berkobar bukan tanpa sebab, melainkan latar belakang sejarah lokal mereka yang begitu pahit dan hidup di bawah perintah jari telunjuk bangsa lain mendorong mereka pada satu cita-cita, kembali mengecap kejayaan yang pernah mereka raih yaitu pada masa kerajaan Sriwijaya dan Majapahit.
Satu persatu diantara mereka tumbang di tangan penjajah, namun tak menciutkan nyali mereka. Dengan senjata tradisional berupa bambu runcing, mereka tetap gigih memperjuangkan tanah air mereka, yang kini ada dalam benak mereka adalah mengembalikan tanah air ke pangkuan ibu pertiwi.
Kini pahlawan-pahlawan itu telah gugur, yang tersisa hanya sebuah nama yang tertulis di batu nisan mereka. Sebagai seorang pahlawan bangsa, mereka patut mendapatkan penghargaan, gelar pahlawan nasional mereka dapat. Namun siapa yang tahu sejarah mereka secara keseluruhan. Dari mana dia berasal, bagaimana kehidupannya.
KH. Abdul Halim, seorang pahlawan nasionalis bangsa yang berasal dari Jawa Barat, yang memiliki andil besar dalam mempersiapkan kemerdekaan bangsa Indonesia. Keikut sertaannya dalam BPUPKI (Badan Penyelidik Usaha-usaha Kemerdekaan Indonesia) serta jasanya sebagai salah satu pendiri Republik Indonesia, KH. Abdul Halim memperoleh tanda kehormatan sebagai BINTANG MAHAPUTRA UTAMA dari Presiden Republik Indonesia.
Abdul Halim lahir tanggal 26 Juni 1887 di desa Sutawangi, Kecamatan Jatiwangi, Majalengka, Jawa Barat. Beliau adalah putra bungsu dari delapan bersaudara. Ayahnya, KH. Muhammad Iskandar, seorang penghulu Kawedanan Jatiwangi, dan ibunya, Nyi Hj. Siti Mutmainah yang masih keturunan dari Sultan Syarif Hidayatullah. Beliau menikah dengan putri KH. Muhammad Ilyas, pejabat Hoofd Penghulu Landraad Majalengka (sebanding dengan kepala Kandepag kabupaten sekarang) bernama Siti Murbiah.
Latar belakang keluarganya yang sangat taat beragama, menjadikan pria bernama asli Otong Syatori ini tumbuh menjadi sosok yang cerdas, kritis dan berpendidikan terutama yang menyangkut tentang agama Islam. Sejak dini tepatnya saat beliau berumur sepuluh tahun, beliau sudah belajar membaca Al-Qur’an. Belum cukup dengan ilmu yang diberikan oleh pihak keluarga, beliau lalu mengembara mencari ilmu dari satu pesantren ke pesantren lain di berbagai pelosok Jawa Barat dan Jawa Tengah, hingga usianya menginjak 22 tahun. Guru-guru yang pernah menjadi pengajarnya antara lain KH. Anwan, di Pondok Pesantren Ranji Wetan, Majalengka, KH. Abdullah (Pesantren Lontang Jaya, Majalengka), KH. Sajak (Pesantren Bobos, Cirebon), KH. Ahmad Sobari (Pesantren Ciwedeas, Cilimus, Kuningan), dan KH. Agus (Pesantren Kedung Wangi, Pekalongan). Beliau mengenyam pendidikan di pesantren masing-masing sampai tiga tahun.
Di sela-sela kesibukannya mencari ilmu, Abdul Halim mencoba hidup mandiri dengan berdagang batik, minyak wangi, dan buku-buku agama. Pengalaman dagangnya itu kelak mempengaruhi langkah-langkahnya dalam memperbaiki stabilitas ekonomi masyarakat pribumi.
Setelah kenyang menimba ilmu agama dari banyak kiai lokal, Abdul Halim memutuskan naik haji di usia 22 tahun. Kepergiannya ke tanah suci bukan semata untuk menunaikan Rukun Islam yang kelima, melainkan juga untuk mempelajari ilmu agama dan menambah wawasan keilmuannya. Di Mekkah beliau bersentuhan dengan tulisan-tulisan Jamaluddin Al-Afgani dan Muhammad Abduh. Di sana ia berguru kepada Syaikh Ahmad Khatib, imam dan khatib Masjidil Haram, dan Syaikh Ahmad Khayyat. Di Mekkah pula ia bertemu dengan KH. Mas Mansyur dari Surabaya (tokoh Muhammadiyah) dan KH. Abdul Wahab Hasbulloh (tokoh Nahdatul Ulama). Setelah dirasa cukup menggali ilmu di tanah suci, pada tahun 1911 M. Abdul Halim kembali ke tanah air, setelah tiga tahun bermukim di sana.
Selain mampu menguasai bahasa Arab dengan tartil, beliau juga mempelajari bahasa Belanda dari Van Houven (salah seorang dari Zending Kristen di Cideres) dan bahasa China dari orang China yang tinggal di Mekkah. Dengan perbekalan pendidikan yang cukup memadai dan hasil dari tukar pikirannya dengan banyak tokoh besar selama ini, baik di luar maupun dalam negeri, menjadikan KH. Abdul Halim semakin mantap dan teguh dalam tekad beliau. Ia tidak mau bekerja sama atau berurusan dengan pihak kolonial. Bahkan pada saat beliau ditawari mertuanya menjadi pegawai pemerintah, beliau menolaknya.
Inilah tombak munculnya jiwa nasionalisme pada diri KH. Abdul Halim. Meskipun perjuangannya tidak dengan senjata ataupun maju ke medan tempur dengan mempertaruhkan jiwa raganya, namun KH. Abdul Halim tak kalah andil dalam memperjuangkan bumi Indonesia dan merebutnya dari tangan penjajah. Sepulangnya dari Mekkah, beliau membawa semangat dan tekad yang membara, yaitu melakukan perbaikan kehidupan masyarakat terutama pribumi. Untuk mewujudkan cita-citanya, beliau menempuh jalur pendidikan (At-Tarbiyah) dan penataan ekonomi (Al-Iqtisadiyah).
Tahun 1911 beliau melancarkan misinya. Di atas tanah milik mertuanya, KH. Muhammad Ilyas, beliau mendirikan sebuah lembaga pendidikan agama, yang kemudian diberi nama Majlis Ilmu. Lembaga itu bertempat di sebuah surau sederhana yang terbuat dari bilik bambu. Dalam memberi pelajaran kepada para santrinya, Abdul Halim dibantu oleh mertuanya. Semakin lama, aktivitas Majlis Ilmu semakin berkembang pesat dan sebuah asrama berhasil dibangun sebagai tempat tinggal para santri.
Pada tahun 1912, KH. Abdul Halim menyempurnakan Majlis Ilmi menjadi organisasi yang lebih besar dengan nama Hayatul Qulub yang aktivitasnya tidak hanya sebatas meningkatkan kualitas pendidikan saja, melainkan juga mendorong kegiatan ekonomi rakyat terutama dalam menghadapi persaingan pengusaha asing yang menguasai pasar juga melawan penindasan para kolonial Belanda terhadap rakyat pribumi, juga dalam bidang sosial dan kemasyarakatan.
Langkah-langkah perbaikannya meliputi delapan bidang yang disebutnya dengan Islah As-Samaniyah, yaitu, Islah Al-Aqidah (perbaikan bidang akidah), Islah Al-Ibadah (perbaikan bidang ibadah), Islah At-Tarbiyah (perbaikan bidang pendidikan), Islah Al-Ailah (perbaikan bidang keluarga), Islah Al-Adah (perbaikan bidang kebiasaan), Islah Al-Mujtama (perbaikan bidang masyarakat, Islah Al-Iqhsad (perbaikan bidang perekonomian) dan yang terakhir Islah Al-Ummah (perbaikan bidang hubungan umat dan tolong menolong).
Namun sangat disayangkan, organisasi Hayatul Qulub tidak berumur panjang. Organisasi yang terus berkembang dan keberadaannya yang dapat memperbaiki keadaan masyarakat kecil, membuat pemerintah kolonial Belanda mulai menaruh curiga. Secara diam-diam pemerintah mengutus polisi rahasia (Politiek Inlichtingn Dienst / PID) untuk mengawasi Abdul Halim dan organisasinya.
Tahun 1915, Hayatul Qulub dibubarkan dengan alasan organisasi tersebut mengganggu keamanan karena menjadi penyebab terjadinya kerusuhan akibat persaingan dengan para pedagang China yang kadang-kadang menyebabkan perkelahian (perang mulut, juga secara fisik) antara pribumi dan pedagang China. Meski dibubarkan, KH. Abdul Halim tetap gigih dan tidak pernah menyerah. Kegiatan-kegiatan perjuangan tetap berjalan.
Pada 16 Mei 1916, Abdul Halim mendirikan Jam’iyah I’anah Al-Muta’alimin sebagai upaya untuk terus mengembangkan bidang pendidikan. Dalam organisasi ini, beliau menjalin hubungan dengan Jam’iyat Khair dan Al-Irsyad di Jakarta. Melihat sambutan yang cukup tinggi, yang dinilai oleh pihak kolonial dapat merongrong kewibawaan mereka, maka pada tahun 1917 organisasi ini pun dibubarkan. Namun dengan dorongan sahabatnya, HOS Tjokroaminoto (presiden Sarekat Islam pada waktu itu), pada tahun itu juga ia mendirikan Persyarikatan Oelama (PO). Organisasi ini diakui oleh pemerintahan kolonial Belanda pada tanggal 21 Desember 1917. selang kurang lebih tujuh tahun kemudian, organisasi ini sudah meluas sampai ke seluruh Jawa dan Madura, dan baru pada tahun 1937, persebarannya mencakup hampir keseluruhan wilayah Indonesia.
Demi untuk terus mendukung organisasi ini, terutama pada sektor keuangan atau dana, KH. Abdul Halim mengembangkan usaha bidang pertanian dengan membeli tanah seluas 2,5 ha pada tahun 1927, lalu mempelopori berdirinya perusahaan percetakan pada tahun 1930. Sembilan tahun kemudian, tepatnya pada tahun 1939 beliau mendirikan perusahaan tenun dan beberapa perusahaan lainnya yang langsung di bawah kendali dan pengawasan beliau.
Untuk mendukung lajunya perusahaan-perusahaan tersebut, para guru yang aktif mengajar diwajibkan menanam saham sesuai dengan kemampuan masing-masing. Tidak cukup sampai di situ, KH. Abdul Halim juga mendirikan sebuah yayasan yatim piatu yang dikelola oleh persyarikatan wanitanya yaitu Fatimiyah.
KH. Abdul Halim juga memandang perlu diajarkannya bekal keterampilan kepada anak didiknya, agar kelak dikemudian hari mereka bisa hidup mandiri tanpa harus berpangku tangan kepada orang lain atau menjadi pegawai pemerintah. Ide ini diwujudkan dengan mendirikan sekolah atau pesantren kerja bersama semacam SMK, bernama Santi Asromo pada bulan April 1942, bertempat di Desa Pasirayu, Kecamatan Sukahaji, Majalengka. Selain mengembangkan bidang pendidikan, Abdul Halim juga memperluas usaha bidang dakwah. Ia selalu menjalin hubungan dengan beberapa organisasi lainnya di Indonesia, seperti dengan Muhammadiyah di Yogyakarta, Sarekat Islam, dan Ittihad Al-Islamiyah (AII) di Sukabumi. Inti dakwahnya adalah mengukuhkan dan mempererat ukhuwah islamiyah (kerukunan Islam) dengan penuh cinta kasih, sebagai usaha menampakkan dan mengokohkan syiar Islam; guna mengusir penjajahan di bumi Indonesia.
Dalam bidang aqidah dan ibadah amaliyah, Abdul Halim menganut paham Ahlussunah Waljama’ah yang dalam fikihnya mengikuti paham Syafi’iyah. Pada tahun 1942, beliau mengubah Persyarikatan Oelama menjadi Perikatan Umat Islam yang kemudian bergabung dengan Persatuan Umat Islam Indonesia (PUII) pada tahun 1952 dan namanya menjadi Persatuan Umat Islam(PUI) yang berkedudukan di Bandung.
Selain sibuk dengan aktivitasnya membina organisasi PUI, beliau juga aktif berperan dalam berbagai kegiatan politik yang bertujuan menentang pemerintahan kolonial. Pada tahun 1912 beliau diberi amanat menjadi pimpinan Sarekat Islam cabang Majalengka. Kemudian pada tahun 1928 beliau diangkat menjadi pengurus Majelis Ulama yang didirikan Sarekat Islam bersama-sama dengan KH. Abdullah Siradj dari Yogyakarta. Beliau juga menjadi anggota pengurus MIAI (Majlis Islam A’la Indonesia) yang didirikan pada tahun 1937 di Surabaya. Pada tahun 1943, setelah MIAI diganti dengan Masyumi (Majlis Syuro Muslimin Indonesia), beliau menjadi salah seorang pengurusnya. Beliau juga termasuk salah seorang anggota Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI / Dokurotzu Zyunbi Tyoosakai) pada tahun 1945, anggota Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP), dan anggota Konstituante pada tahun 1955. Di kalangan para kerabat dekat dan sahabat-sahabatnya, beliau dikenal sebagai orang yang sederhana, pengasih, dan selalu mengutamakan jalan damai dalam menyelesaikan segala persoalan daripada melalui kekerasan dan pemberontakan.
Pada tahun 1940, beliau bersama dengan KH. A. Ambari mendatangi Adviseur Voor Indische Zaken, Dr. GF. Pijper, di Jakarta untuk mengajukan beberapa tuntutan yang menyangkut kepentingan umat Islam. Ketika terjadi agresi Belanda pada tahun 1947, beliau bersama dengan rakyat juga tentaranya mundur ke pedalaman untuk menyusun sebuah strategi melawan penjajahan Belanda. Beliau juga menentang keras berdirinya negara Pasundan yang didirikan pada tahun 1948 oleh Belanda.
Kegiatan demi kegiatan terus dilakukan KH. Abdul Halim demi mengembalikan tanah air tercintanya kembali pada masa keemasannya. Salah satu kegiatan yang menonjol adalah program pertolongan kepada para pelajar dengan membentuk ‘Anatul Muta’allimin. Antara tahun 1917 – 1920 telah dibangun 40 madrasah, sebagian besar diantaranya berdiri di Jawa, dengan metode pengajaran modern , yang pada saat itu mendapat tentangan dari berbagai pihak. Semangat nasionalisme yang ditorehkannya pada bumi pertiwi sangat besar peranannya, meski tidak dilakukan di medan tempur, beliau membuktikannya melalui kegiatan-kegiatan yang sangat berperan dalam misi membangun bangsa Indonesia menjadi bangsa yang besar, seperti yang dicita-citakan olehnya dan tentu oleh semua rakyat Indonesia.
Melihat jejak sejarah yang ditorehkannya, tidak salah jika KH. Abdul Halim mendapat gelar pahlawan nasional, meski namanya tidak sekondang Bung Tomo atau Muhammad Natsir. Namun jasanya dalam keikutsertaannya mendirikan negeri ini akan selalu menjadi kebanggaan setiap elemen bangsa terutama bagi kami, orang Majalengka sebagai tempat kelahiran beliau. Kami sangat bangga memiliki KH. Abdul Halim.
Dari secarik sejarah lokal KH. Abdul Halim di atas, kita dapat menarik kesimpulan, bahwa sekecil apapun peran sejarah lokal, sangat berarti besar dalam memberikan sumbangsih terhadap sejarah nasional. Masih banyak sejarah lokal lainnya yang apabila dikorek lebih dalam akan menghasilkan sebuah jawaban yang luar biasa atas teka-teki yang selalu di jawab singkat oleh sejarah nasional. Oleh karena itu sejarah lokal sangat berpengaruh dalam memancing semangat nasionalisme bangsa yang kian lama energi kecintaannya harus dipompa lagi agar tanah air kita yang kaya ini tetap terjaga kewibawaannya dan terus menjadi kebanggaan bersama.
0 comments:
Post a Comment