Sebenarnya memperbincangkan tentang seperti apakah Perguruan Tinggi terbaik yang paling ideal dan menjadi impian semua rakyat Indonesia dalam satu artikel hampir-hampir seperti mission imposible, terlebih lagi bila kita hubungkan dengan keadaan negara kita sekarang ini. Kita tentulah sepaham bahwa betapa banyaknya variabel yang harus disertakan dalam memperbincangkan hal ini, belum lagi tentang multidimensional persoalan-persoalan kongkret serta betapa kompleksnya akar masalah yang harus diurai. Tapi, tentu bukan berarti hanya karena melihat betapa multidimensionalnya persoalan-persoalan tersebut lantas hal itu dipandang sebagai sesuatu yang membuang-buang waktu untuk didiskusikan. Maka dari itulah, saya akan mencoba mengurai benang-benang itu di sini dengan harapan besar bahwa pada gilirannya akan ditemukan satu solusi kongkret tentang seperti apa dan bagaimanakah seharusnya sebuah perguruan tinggi.
Jadi, mafhumlah kiranya kalau sebelum melangkah lebih jauh ke inti persoalan tentang bagaimana dan seperti apakah Perguruan Tinggi idaman mahasiswa pada umumnya, terlebih dahulu saya akan mencoba memecah segala persoalan-persoalan yang melilit tubuh lembaga pendidikan kita menjadi kepingan-kepingan kecil agar lebih mudah terdefinisikan. Persoalan-persoalan pokok dan sangat fundamental di hampir semua Perguruan Tinggi kita, dari survey kecil-kecilan yang saya lakukan berikut ditunjang dengan pengalaman saya ketika menjadi mahasiswa dulu adalah sebagai berikut :
1. Kualitas dosen pengajar
Tak sedikit dosen pengajar di banyak Perguruan Tinggi yang pola mengajarnya terlalu bertele-tele, kaku, membosankan dan susah dipahami oleh sebagian mahasiswanya. Padahal tentulah kualitas dosen pengajar merupakan hal terpenting, karena sebagus dan seefektif apapun sistem yang berlaku dalam sebuah Perguruan Tinggi tak akan bisa berjalan tanpa ditunjang oleh kualitas dosen yang mumpuni. Dosen merupakan ujung tombak yang begitu sentral karena bagaimanapun juga peran dosenlah yang kemudian bisa membentuk mahasiswa selaku generasi baru untuk memperoleh suatu keterampilan dan mental berpikir analistis, eksploratif dan kreatif demi hasil-hasil sintetis yang berguna. Tapi, sayangnya tak sedikit dosen yang mengajar anak didiknya bak melatih binatang sirkus, yakni mendidik mahasiswa seperti apa yang mereka mau, dan bukannya mendidik apa-apa yang seperti mahasiswa butuhkan. Jadi, jika kemudian lulusan yang dihasilkan oleh Perguruan Tinggi dengan dosen-dosen alakadarnya itu adalah pemuda-pemuda yang sulit untuk diajak berpikir sistematis, bercitarasa eksploratif, gaya bertutur serta sistematika logika mereka sulit dibanggakan ketika bersitatap dengan masyarakat internasional yang setaraf dengan mereka tentu kita tak akan terkejut karenanya.
2. Biaya pendidikan
Hal fundamental lainnya adalah biaya untuk masuk Perguruan Tinggi tak bisa dijangkau oleh semua kalangan masyarakat. Mahalnya biaya inilah yang membuat kalangan bawah akan berpikir 5000 kali untuk masuk Perguruan Tinggi selepas mereka menamatkan pendidikan menengahnya. Apalagi selepas negara kita dihantam krisis berkepanjangan yang berdampak pada banyak aspek-aspek kehidupan rakyatnya, pendidikan tak lagi dipandang sebagai kebutuhan primer yang musti dikejar mati-matian. Maka tak heran kiranya jika kemudian dalam perjalanannya Perguruan Tinggi pun menjadi seperti menara gading yang tak sanggup lagi diraih oleh kalangan bawah. Perguruan Tinggi hanya milik kaum menengah ke atas yang tak lagi berani diimpikan oleh kalangan akar rumput, meski dalam teori yang terpatri di undang-undang dasar negara menyebut bahwa pendidikan adalah hak seluruh warga negara. Teori ini seperti jauh panggang dari api karena pada kenyataannya hak untuk mendapatkan pendidikan yang layak itu harus juga diikuti oleh kewajiban membayar ongkos pendidikan yang begitu besar. Dengan kenyataan di atas tadi pada akhirnya kalangan bawah yang ingin mengenyam pendidikan tinggi pun lebih memilih untuk memupus impiannya dan menganggap keadaan tersebut lebih sebagai keadan terberi yang tak lagi bisa diapa-apakan.
3. Sarana transfortasi pendukung
Dalam sebuah novel karya Gus tf Sakai yang berjudul; Tambo, Sebuah Pertemuan sang tokoh utama yang dikisahkan begitu membenci ruang kuliah berhasil digambarkan oleh Gus dengan begitu mengena. Sang tokoh ini berkata; “Kenapa harus ada waktu? Kenapa harus ada malam? Ada siang? Sungguh tolol orang-orang yang mengikat diri dengan pengertian-pengertian itu. yang karenanya harus terburu-buru, rela berdesakan di bus, seperti barisan paku, yang dengan susah payah mencari tempat untuk merenggangkan kepala hanya supaya bisa bernapas. Alangkah absurd. Barangkali itu juga yang membuatku malas ke kampus. Kampus yang jauh nun di sebuah bukit. Terpuruk dalam bus selama hampir satu jam dan ketika sampai, lalu melompat keluar, orang-orang merasa bagai selesai direbus. Tidak ada ruang kuliah. Hanya kafe yang cocok dengan keadaan seperti itu.” Gambaran sang tokoh yang malas pergi kuliah lantaran tak kuat berdesak-desakkan di bus tiap pagi itu tentu bukan hanya ada di cerita fiksi semata tapi lebih merupakan potret nyata yang dihadapi sarana transfortasi negeri ini. Dan bagi mahasiswa-mahasiswa yang tak memiliki kendaraan pribadi untuk pergi ke tempat ia menimba ilmu tentu mau tak mau harus menghadapi keniscayaan ini tiap harinya. Siapa yang tahan jika selama sekian tahun harus dengan sukarela berhadapan dengan sarana transfortasi macam ini. Tapi kan untuk mahasiswa di beberapa Perguruan Tinggi disediakan bis yang khusus menganggkut mahasiswanya pulang dan pergi kuliah? Ayolah, ini sudah menjadi rahasia umum jika bis-bis yang sedianya untuk mengangkut mereka itu lebih banyak dipakai untuk ngompreng oleh pak sopirnya dengan dalih demi tambahan uang rokok. Jikapun ada bus-bus khusus mahasiswa yang tak ngompreng, maka ketersediaan bus yang tak berbanding dengan banyaknya mahasiswa tentu menjadi persoalan tersendiri yang pada akhirnya hampir tak bisa lagi dibedakan dengan angkutan-angkutan umum lainnya. Berjubel layaknya barisan paku yang disusun zig-zag.
4. Fasilitas kampus
Inilah yang dihadapi oleh banyak Perguruan Tinggi di negeri ini, terlebih yang di daerah-daerah yakni minimnya ketersediaan fasilitas dan sarana-sarana penunjang kampus yang dapat mengakomodir keperluan mahasiswanya. Contohnya saja seperti kurang lengkap dan semrawutnya perpustakaan, lab-lab penunjang, sarana parkir yang luas dan gratis, kebersihan toilet, dan sebagainya. Dengan keterbatasan sarana ini mahasiswa jadi seperti taruna yang diterjunkan ke medan perang sungguhan. Mereka harus berjibaku sendiri untuk memenuhi keperluannya yang tak banyak disediakan oleh kampus, misalnya saja seperti ketika mahasiswa harus mengerjakan tugas-tugas yang dibebankan oleh dosen. Sekedar untuk mencari refrensi ke perpustakaan saja hal yang pertama harus mereka temui adalah deretan rak-rak penuh buku yang penat dan seperti sengaja disusun secara acak tanpa kode urutan, hingga jika mereka mencari buku tertentu akan seperti mencari seekor semut diantara kawanan gajah. Dindingnya jangan ditanya. Dinding perpustakaan di banyak Perguruan Tinggi kebanyakan tentu saja sangat lembab dengan cat yang mengelupas di sana-sini hingga terlihat seperti gambar-gambar peta dari sebuah benua yang tak pernah tercatat dalam atlas. Lebih parah lagi, meja dan kursi yang terdapat di perpustakaan disusun begitu konvensional dan lebih semata-mata fingsi ketimbang estetika, maka tak ayal yang terlihat adalah pemandangan meja kursi lapuk berjejer seperti yang biasa dilihat di kafetaria sekolah-sekolah militer dan penjara. Itu baru gambaran umum sebuah perpustakaan kampus, belum merembet ke hal lainnya seperti kebersihan toilet, kantin, lab computer, dan sebagainya.
Bertransformasi Menjadi Kampus Idaman
Dari sekian masalah yang telah dikemukakan di atas, lantas bagaimanakah solusi kongkretnya sebuah Perguruan Tinggi tersebut agar bisa disulap menjadi Perguruan Tinggi favorit Indonesia yang diidam-idamkan oleh mahasiswanya? Formula seperti apakah untuk menjadikan kampus tak lagi sekedar pabrik pembuat gelar, tapi juga bisa menjadi tanah tumbuh yang subur bagi generasi-generasi muda yang mampu berpikir analistis, eksploratif dan kreatif demi hasil-hasil sintetis yang berguna? Saya kira, kuncinya cuma satu yakni Perguruan Tinggi harus benar-benar mampu mengakomodir segala keperluan mahasiswanya. Ongkos kuliah yang terjangkau semua kalangan yang mula-mula harus direalisasikan, setelah itu menyusul dengan sarana angkutan khusus mahasiswa yang memadai agar ketika mahasiswa sampai ke kampus benar-benar dalam keadaan fresh dan siap menerima pelajaran. Masuk ke wilayah intern kampus, ujung tombak yang begitu sentral yakni dosen pun harus pandai beradaptasi dengan teknologi yang berkembang demi efektivitas transfer ilmu. Misalnya memanfaatkan jejaring sosial seperti facebook, twitter, dan sebagainya untuk lebih mendekatkan diri sekaligus menyediakan diri sebagai tempat bertanya mahasiswa ketika di luar kelas. Blog juga bisa dimanfaatkan oleh para dosen sebagai sarana transfer pelajaran yang efektif, karena di dua tempat inilah yakni jejaring sosial dan blog banyak mahasiswa yang parkir. Saya kira akan sangat terdengar menyenangkan bila di dalam kelas ada dosen yang mengatakan, “Bapak menginginkan kalian semua untuk mengerjakan tugas ini. Untuk referensi silahkan cari di perpustakaan atau di blog bapak. Setelah selesai kirimkan tugas kalian itu langsung ke email bapak.” Masuk ke sarana kampus, untuk memenuhi tugas dari dosennya mahasiswa pun langsung ke perpustakaan. Di perpustakaan semua mahasiswa mendapatkan dengan muda buku yang diperlukan karena di beberapa sudut di sediakan komputer sebagai catalog buku-buku yang tersedia di sana. Buku-bukunya beragam, lengkap dan senantiasa up to date hingga tak ada lagi cerita untuk mahasiswa dengan jurusan di luar mainstream susah mencari referensi ke perpustakaan. Pun begitu dengan lab komputer. Komputer harus disediakan berikut dengan wifi yang super cepat dan gratis. Bagi yang memiliki laptop pun bisa leluasa mencari referensi hanya dengan mengunjungi hotspot yang juga disediakan oeh kampus secara cuma-cuma.
Beralih ke sarana pendukung lainnya yang tak kalah pentingnya yaitu lahan parkir yang luas, aman dan juga gratis, toilet yang bersih dan terawat, dan kantin yang nyaman. Kenapa? karena di tiga tempat inilah tak jarang kampus-kampus kurang perhatian padahal fungsinya sangat vital. Lahan parkir yang luas dan aman membuat mahasiswa yang memparkir kendarannya di sana tak akan was-was lagi kalau-kalau kendaraannya digondol maling, dan akhirnya bisa lebih fokus pada materi kuliah. Kantin pun demikian adanya. Dengan kantin yang nyaman, setelah berjam-jam berkutat dengan materi kuliah tentu akan sangat menguras energi dan perlu merefresh otaknya sekaligus mengganti energi yang terkuras tadi dengan makan dan ngobrol di kantin bersama kawan-kawannya. Kantin yang nyaman pun bisa dijadikan arena untuk mendiskusikan materi kuliah yang baru saja mereka dapat di kelas.
Lalu apa lagi? Di samping hal-hal teknis yang saya paparkan di atas tentu ada hal lain yang tak kalah pentingnya yakni untuk mengupayakan diri dan dan menuju pada tercapainya cita-cita sebagai Perguruan Tinggi terbaik sekaligus perguruan tinggi favorit di Indonesia sebuah perguruan tinggi harus senantiasa membuka diri terhadap kritik-kritik membangun dari luar seperti apa yang dilakukan oleh Universitas Islam Indonesia dengan menjaring pendapat sekaligus masukan yang salah satunya yakni dengan menyelenggarakan Lomba Blog UII seperti ini. Karena bagaimanapun juga dengan diselenggarakannya lomba ini paling tidak apa yang benar-benar diiinginkan oleh masyarakat pada umumnya maupun mahasiswa khususnya bisa di tuangkan lewat tulisan yang pada gilirannya akan membuka banyaknya pendapat tentang apa dan bagaimana sekaligus seperti apakah Perguruan Tinggi idaman yang benar-benar diimpikan oleh masyarakat. Bukankah yang benar-benar tahu dengan apa yang diinginkan oleh mahasiswa adalah mahasiswa itu sendiri dan bukannya presiden, dosen, pak RT dan sebagainya.
.
.
.
Artikel ini disertakan dalam Lomba Blog UII yang diselengarakan oleh Universitas Islam Indonesia dengan tema: Mendefinisikan Perguruan Tinggi Idaman.
Keterangan gambar:
Gambar di ambil dari blognya mbak Tuti Nonka di sini
Home »
» Mendefinisikan Perguruan Tinggi Idaman
Mendefinisikan Perguruan Tinggi Idaman
Written By Novita Anggraeni on Friday, April 9, 2010 | 5:15 AM
Related Articles
If you enjoyed this article just click here, or subscribe to receive more great content just like it.
0 comments:
Post a Comment