Tari Topeng Cirebon |
Kalau pada postingan yang dulu saya hanya menggambarkan Tari Topeng secara garis besarnya saja maka pada postingan kali ini saya akan mencoba membedah kedalaman isi dan makna filosofis dari tari topeng Cirebon ini sendiri terutama untuk tari topeng jenis topeng Panji Cirebon yang terkenal sangat paradoks itu. Kenapa dikatakan paradoks karena dalam tari topeng Panji Cirebon ini terkandung unsur-unsur yang saling bertentangan. Pertentangan-pertentangan itu dapat ditemukan dari beberapa hal yang diantaranya adalah topeng yang dikenakan dalam tari Topeng Panji yang berwarna putih polos tanpa hiasan sama sekali hingga tak dapat dibedakan apakah topeng ini menggambarkan sosok lak-laki atau sosok perempuan, gerak tari pun demikian, tak dapat dibedakan apakah itu gerak seorang yang mewakili sifat maskulinitas lelaki atau femininitas perempuan. Gerak-gerak tariannya amat minim, namun iringan gamelannya begitu gemuruh. Kalau meminjam kata-katanya Prof. Drs. Jakob Sumardjo, gerak Tarian Panji seolah-olah "tidak menari". Justru karena tariannya tidak spektakuler, maka ia merupakan sejatinya tarian, yakni perpaduan antara hakiki gerak dan hakiki diam. Satu hal lainnya yang membuat tari topeng panji Cirebon sedemikian paradoks adalah karena meski tari ini dihadirkan sebagai pembuka dari rangkaian tari topeng Cirebon lainnya yakni Pamindo-Rumyang dan Patih-Kelana tapi tari panji mengandung unsur dari keempat tari topeng itu sendiri. Ia hadir selaku pembuka sekaligus juga perwujudan dari klimaks pertunjukan tari topeng itu sendiri.
Selain itu, untuk menarikan tari topeng panji ini tidak sembarang orang bisa menarikannya. Itulah sebabnya ada pendapat yang mengatakan bahwa hakikinya pada zaman dulu tari topeng panji ini adalah jenis tarian para raja Jawa yang lebih dekat ke sisi spiritualnya daripada sebagai tontonan. Pendapat ini muncul karena Dalam Negarakertagama dan Pararaton dikisahkan raja Majapahit yaitu Prabu Hayam Wuruk pernah menari topeng (kedok) yang terbuat dari emas. Hayam Wuruk menarikan topeng emas (atapel, anapuk) di lingkungan kaum perempuan istana Majapahit. Jadi Tari topeng Cirebon ini semula hanya ditarikan para raja dengan penonton perempuan (istri-istri raja, adik-adik perempuan raja, ipar-ipar perempuan raja, ibu mertua raja, ibunda raja). Pun begitu dengan Raden Patah yang menari Topeng di kaki Gunung Lawu di hadapan Raja Majapahit, Brawijaya. Inilah yang membuktikan bahwa Topeng Cirebon erat hubungannya dengan konsep kekuasaan Jawa. Bahwa hanya Raja yang berkuasa dapat menarikan topeng ini, ditunjukkan oleh babad, yang berarti kekuasaan atas Jawa telah beralih kepada Raden Patah, dan Raja Majapahit hanya sebagai penonton.
Dan karena sakralnya tarian ini maka sebelum menarikan tari ini seorang penari harus terlebih dahulu melakukan laku puasa, berpantang pada sesuatu, dan semedi. Selain itu juga dipersembahkan segala macam sesajian yang mengandung unsur-unsur dualisme sekaligus pengesaan yang antara lain mewujud dalam berbagai sesajian yang sering dijumpai yang diantaranya bedak, sisir, cermin yang merupakan lambang perempuan, didampingi oleh cerutu atau rokok sebagai lambang lelaki. Bubur merah lambang dunia manusia, bubur putih lambang Dunia Atas. Cowek batu yang kasar sebagai lambang lelaki, dan uleg dari kayu yang halus sebagai lambang perempuan. Pisang lambang lelaki, buah jambu lambang perempuan. Air kopi lambang Dunia Bawah, air putih lambang Dunia Atas, air teh lambang Dunia Tengah. Sesajian adalah lambang keanekaan yang ditunggalkan.
Rincian Sisi Filosofis Tari Topeng Cirebon
Secara garis besar makna filosofis dan spiritualitas tari topeng sendiri adalah semacam symbol penciptaan alam semesta yang berdasar pada sistem kepercayaan Hindu-Budha pengaruh dari kerajaan Majapahit yang menganut sistem emanasi yaitu adanya kesamaan antara sang pencipta (Dewa) dengan yang diciptakan (makhluk) karena menurut mereka ciptaan adalah bagian atau pancaran dari Sang Hyang Tunggal.
Siapakah Sang Hyang Tunggal itu? Dia adalah ketidak-berbedaan yang tunggal dan mutlak. Sementara alam semesta sendiri merupakan suatu keanekaragaman.yang di dalamnya tergabung perbedaan-perbedaan yang bertentangan tapi saling melengkapi dan bertaut satu sama lain seperti siang-malam, gelap-terang, laut-darat dan lain sebagainya. Nah, Sang Hyang Tunggal itulah yang kemudian merangkum segala perbedan ciptaan itu untuk menjadikannya sebagai keseimbangan yang sempurna. Sifat-sifat positif melebur jadi satu dengan sifat-sifat negatif. Akibatnya semua sifat-sifat yang dikenal manusia berada secara seimbang dalam diriNya sehingga Sifat itu tidak dikenal manusia alias Kosong mutlak. Paradoksnya justru Kosong itu Kepenuhan sejati karena Dia mengandung semua sifat yang ada. Kosong itu Penuh, Penuh itu Kosong, itulah Sang Hyang Tunggal itu. Di dalamNya tiak ada perbedaan, tunggal mutlak.
Dan Topeng Cirebon berusaha menggambarkan semua unsur dari Sang Hyang Tunggal ini memecahkan diriNya menjadi beberapa serpihan pasangan kembar yang saling bersisian tapi sekaligus saling melengkapi. Dari Tari Topeng Panji sebagai perwujudan Sang Hyang Wenang yang memiliki segala unsur penciptaan kemudian menyerpih dan berdiri sendiri seperti yang kemudian digambarkan dalam tarian berikutnya yaitu 'Pamindo-Rumyang', dan 'Patih-Klana'. Karena memiliki unsur segala penciptaan itulah maka Tari Topeng Panji pun sulit di bedakan apakah ia perempuan atau lelaki, jahat atau baik dan sebagainya. Kedoknya yang sama sekali bersih dari segala aksesoris pun dapat disimbolkan sebagai bentuk kekosongan. Berisi tapi kosong. Mengandung berbagai unsur tapi tak terdefinisikan. . Itulah wujud paradoks antara gerak dan diam. Tarian Panji sepenuhnya sebuah paradoks. Inilah kegeniusan para empu purba itu, bagaimana menghadirkan Hyang Tunggal dalam transformasinya menjadi aneka, dari ketidakberbedaan menjadi perbedaan-perbedaan. Itulah puncak topeng Cirebon, yang lain hanyalah terjemahan dari proses pembedaan itu. Empat tarian sisanya adalah perwujudan emanasi dari Hyang Tunggal tadi. Sang Hyang Tunggal membagi diriNya ke dalam dua pasangan yang saling bertentangan, yakni 'Pamindo-Rumyang', dan 'Patih-Klana'. Inilah sebabnya kedok 'Pamindo-Rumyang' berwarna cerah, sedangkan 'Patih-Klana' berwarna gelap (merah tua).
Gerak tari "Pamindo-Rumyang" halus keperempuan-perempuanan, sedangkan Patih-Klana gagah kelaki-lakian. Pamindo-Rumyang menggambarkan pihak "dalam" (istri dan adik ipar Panji) dan Patih-Klana menggambarkan pihak "luar". Terang dapat berarti siang, gelap dapat berarti malam. Matahari dan bulan. Tetapi harus diingat bahwa semuanya itu adalah Panji sendiri, yang membelah dirinya menjadi dua pasangan saling bertentangan sifat-sifatnya. Inilah sebabnya keempat tarian setelah Panji mengandung unsur-unsur tarian Panji. Untuk hal ini orang-orang tari tentu lebih fasih menjelaskannya.
__________________
3 comments:
thanks artikel nya gan. :-D
Manfap jiwa artikel.. cirebon gituloh
I enjoyed reaading your post
Post a Comment