Home » , , , , , , » Eksplorasi Tinggalan Batu Besar di Lereng Ciremai

Eksplorasi Tinggalan Batu Besar di Lereng Ciremai

Written By Novita Anggraeni on Thursday, June 3, 2010 | 8:19 AM

Kedaulatan Rakyat, 2001



Petualangan mencari situs-situs arkeologis di lereng timur Gunung Ciremai telah menorehkan pengalaman dan hasil yang tak terduga. Sebagai gunung tertinggi di Jawa Barat, Ciremai ternyata menyimpan jejak kehidupan masa lampau yang luar biasa banyaknya. Pencarian di separoh gunung itu berhasil mengungkap 162 tinggalan batu besar (megalitik) yang tersebar di 33 situs, mulai dari peti kubur, punden, menhir, dolmen, batu dakon, hingga arca-arca batu berbentuk sederhana.

***



MELIHAT peta, wilayah yang menjadi target survei membentang sepanjang lebih-kurang 40 km. Ketinggiannya antara 400 hingga 2.000 mdpl. Secara topografis, merupakan bagian dari lereng kaki Gunung Ciremai bagian timur. Reliefnya bergelombang, selang-seling antara punggungan dan lembah-lembah yang sangat curam. Lahannya bervariasi dari sawah di bagian yang lebih rendah, terus ladang, dan di bagian paling atas hutan sekunder yang masih rapat. Di beberapa tempat, antara ladang dan hutan sekunder, terdapat hutan pinus milik Perhutani. Wilayah ini secara adminstratif masuk ke dalam wilayah Kuningan, kabupaten paling timur di Jawa Barat.

Butuh strategi matang dan waktu yang lama untuk menjamah kawasan seluas itu. Meski benda yang dicari adalah batu-batu berukuran besar, tapi keberadaannya belum tentu di mana. Bisa di puncak bukit, di dasar lembah, tertutup semak, di bawah pohon, di halaman rumah penduduk, atau malah terpendam di dalam tanah.

Untuk memudahkan pencarian, saya melakukan survei awal ke setiap dusun yang berada di kaki gunung. Setiap tempat keramat dan namanya berbau kuna (menggunakan bahasa Sunda Buhun) diplot ke dalam peta. Misalnya Pasir Sanghiang, Hululingga, Linggabuana, Batu Lingga, Kuburan Kuda, Batu Congcot, Gunung Putri, Sagarahiang, Alun-alun Lawas, Buyut Jago, Batu Tilu, Tabet, dan sebagainya, yang jumlahnya mencapai seratusan.

Tempat-tempat itulah yang menjadi sasaran pencarian. Sebagian mudah dijangkau karena berada di tengah perkampungan. Tapi tak sedikit pula yang harus melalui perjuangan. Berhari-hari jalan kaki menerabas semak belukar, mendaki bukit, dan menuruni jurang. Untuk mencapai tempat-tempat yang sulit, tak jarang harus menggelar tenda karena kemalaman.

Seperti pagi itu. Matahari yang merangkak dari ufuk timur, sinarnya secara perlahan mulai menepis kabut tipis yang menyelimuti gunung setinggi 3.078 mdpl itu. Bukit Gegerhalang di lereng selatan dan Gunung Putri di lereng timur tak ketinggalan mulai memperlihatkan pepohonannya yang masih lebat.
Segar angin pegunungan mengiringi langkah saya bersama tiga rekan dari Ciremai Mountaineer Club untuk memulai perjalanan menyusuri Punggungan Pasir Sanghiang. Bagi arkeolog, nama Pasir Sanghiang cukup menarik perhatian. Sanghiang merupakan aspek penting dalam kepercayaan orang Sunda Kuna yang berbau animisme. Dalam rangka pemujaan terhadap Sanghiang (leluhur) itulah, mereka biasanya mendirikan moumen yang terbuat dari batu besar (megalitik).

Bukit setinggi 1.300 mdpl ini sebenarnya sudah tampak dari Desa Sagarahiang, salah satu desa tertinggi di Kecamatan Kadugede. Namun karena tak enak untuk mengajak penduduk yang lagi pada sibuk panen jagung, maka terpaksa harus cari jalan sendiri.

Rasa lelah langsung terobati ketika di puncak bukit itu ditemukan sebuah Nandi (arca berbentuk sapi) sedang duduk, sebuah Yoni, dan tiga buah menhir dalam posisi roboh. Keberadaannya tentu menarik. Arca Nandi dan Yoni yang merupakan ciri hinduistik ditemukan bersama dengan menhir yang bercorak prasejarah. Setidaknya data ini membenarkan apa yang ditulis dalam kitab Sanghyang Siksakanda Ng Karesian dari abad 15 Masehi, bahwa di Tatar Sunda, agama Hindu-Budha dan kepercayaan terhadap leluhur telah berbaur menjadi satu.

Mendaki sedikit dari Pasir Sanghiang, di sebuah punggungan bernama Hululingga, terdapat balok-balok batu berserakan. Beberapa menhir masih ada yang berdiri. Tinggalan ini diperkirakan reruntuhan punden berundak. Pendududuk setempat mempercayainya sebagai makam leluhur mereka. Setelah melakukan pendataan, perjalanan diteruskan menuju Palutungan. Kira-kira 7 km jaraknya. Berbekal peta dan alat navigasi, kami langsung potong kompas ke arah baratlaut menuju kaki Bukit Gegerhalang. Sebenarnya ada jalan mudah dengan traverse melewati ladang-ladang penduduk. Namun kami menaroh harapan bisa menemukan benda megalitik lainnya di balik lebatnya hutan Ciremai.

Harapan tinggal harapan. Menjelang malam kami masih harus berkutat dengan belukar. Tiga punggungan dan dua jurang dengan susah payah sudah dilewati. Akhirnya di sebuah tempat yang agak terbuka, di bawah Gegerhalang, kami menggelar tenda.

Keesokan harinya, setelah mengisi perut dan berkemas, perjalanan diteruskan turun menuju ladang penduduk. Tak sampai dua jam, kami tiba di perbatasan ladang dengan hutan. Berkaca pada pengalaman kemaren yang cukup sulit, kami akhirnya memutuskan untuk menelusuri ladang saja. Dari tempat yang terbuka ini, kami sudah bisa mengontrol posisi di peta. Beberapa kenampakan alam seperti puncak bukit, punggungan, dan pohon-pohon besar hampir tak ada yang luput dari pengamatan. Karena di tempat-tempat semacam inilah tinggalan megalitik biasanya ditemukan. Ternyata nihil.

Setelah seharian jalan, kami akhirnya tiba di Bumi Perkemahan Palutungan di ketinggian 1.100 mdpl. Tak rugi berkemah di sini dua hari. Mandi di Curug Ciputri menjadi agenda pagi dan sore. Meski dinginnya bukan kepalang, tapi air terjun setinggi 30 meter dan bertingkat-tingkat ini mampu menyegarkan badan dan pikiran.

Di sekitar Palutungan ada suatu tempat yang bernama Ciarca. Di sebut demikian karena di sana memang ada arca batu yang konon merupakan penjelmaan dari leluhur. Tingginya hanya selutut dan bentuknya sederhana. Tempat itu dijadikan pepunden desa.

Dari Palutungan, pencarian situs diteruskan menuju Gunung Putri. Belum sampai ke puncaknya, kami terpaksa menarik diri. Selain curam, pohonnya sangat rapat. Hampir mustahil menembusnya dalam 2-3 hari. Akhirnya kami turun ke kampung terdekat, Desa Ragawacana. Menurut daftar "nama aneh" yang sudah diplot di peta, di desa ini terdapat sebuah kolam keramat bernama Balong Kagungan. Karena berada di tengah perkampungan, tak sulit mencarinya.

Ternyata di salah satu pinggir kolam tersebut ditemukan sebuah meja batu (dolmen), empat buah menhir, dan sebuah batu dakon. Bunga-bunga dan sisa pembakaran kemenyan ada di salah satu tepi dolmen. Ini adalah salah satu bukti bahwa situs ini masih digunakan untuk pemujaan.

Tak jauh dari situs ini kabarnya pernah ditemukan dua peti kubur batu seperti yang terdapat di Taman Purbakala Cipari. Ketika dicek, sudah tak ada. Menurut penduduk sih sudah tertimbun kembali tanah, akibat erosi. Pendataan sebelumnya sudah berhasil merekap 14 buah peti kubur yang tersebar di 6 situs. Hampir semuanya ditemukan di tengah sawah atau perkampungan. Bentuknya berupa peti persegi panjang yang dinding, alas dan tutupnya terbuat dari batu sirap. Ukurannya kira-kira 1 x 2 meter. Namun belum pernah menemukan rangka manusia, karena tanah di lereng ciremai memiliki keasaman tinggi.

Masih dengan ransel menggayut di punggung, kami meneruskan menelusuri jalan desa sambil menanyakan tempat-tempat keramat kepada siapa saja yang dijumpai. Pertanyaan ini cukup efektif, karena sebagian besar tinggalan megalitik di lereng Ciremai masih dikeramatkan.

Dari hasil bertanya sana-sini, akhirnya kami sampai ke sebuah pertapaan. Namanya Buyut Salam, di Desa Sangkanherang, Kecamatan Jalaksana. Pertapaan itu terdiri atas empat teras. Pintu masuk teras pertama dijaga oleh sebuah arca batu setinggi 1,2 meter. Kepalanya memakai mahkota. Beberapa arca batu dan menhir ditemukan pula di teras lainnya. Di salah satu sisi terdapat bangunan untuk menginap para petapa. Pohon-pohon besar membuat tempat ini gelap, dan memberi kesan angker.

Berdasarkan nama dan bentuk tinggalannya, besar kemungkinan bahwa situs ini merupakan kabuyutan. Masyarakat Sunda Kuna yang tetap bertahan memeluk kepercayaan terhadap leluhur (hyang, buyut) hingga abad ke-16 Masehi, banyak mendirikan kabuyutan untuk sarana peribadatannya. Mereka cenderung untuk mendirikan bangunan suci ini di tempat-tempat terpecil seperti bukit atau gunung.

Menariknya, di Situs Buyut Salam ini terdapat dua buah lumpang batu. Menurut juru kunci, barangsiapa yang bisa mengangkatnya, segala permintaannya bakal terkabul. Ketika mencoba mengangkat kedua batu itu, ternyata saya bisa. "Moga batu-batu besar seperti ini bisa bercerita banyak tentang kepercayaan orang Sunda Kuna", demikian pinta saya.

Petualangan ini memang tidak sekedar mencari batu. Tujuan akhirnya adalah mengungkap gambaran kehidupan manusia pendukung batu-batu itu. (Jajang A. Sonjaya, Arkeolog UGM)
Share this article :

1 comments:

Genteng Jatiwangi said...

pada kaman nih pengusaha hotel cirebon kalo cuma produk yang dijual di bawa sebagai oleh oleh selesai cirebon..coba kalo upacara adat yang dijual

 
Support : Budaya Nusantara | Kotak Bumbu | Kunci Finansial
Copyright © 2013. Portal Cirebon - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger